Kurang lebih selama lima belas tahun gue hidup di dunia ini, banyak hal yang bisa merubah beberapa sikap buruk gue, semakin lama gue hidup, semakin gue sadar bahwa bersikap merasa lebih tinggi dari orang lain adalah sikap yang sama sekali tidak memberikan benefit. Menyombongkan harta yang dimiliki walaupun kenyataannya nihil adalah sebuah kegiatan bodoh yang memalukan.
Entah memang saat itu zamannya atau bukan, tapi, waktu zaman gue masih sekolah dasar, gue hobi banget beli tas dengan harga more than 150.000 di mall-mall. Gue merasa bahwa gue harus punya barang-barang mahal. Gue selalu beli sepatu sekolah tiap naik kelas, kalau ngga, ya, gue bakalan nangis dan marah besar sama emak bapak.
Gue juga selalu menolak untuk pakai baju yang mereknya gak jelas, dengan harga 30.000 atau 50.000, semuanya harus diatas 150.000, gue nggak akan pakai baju pasar sekalipun itu adalah pemberian. Gue juga yang selalu maksa-maksa harus beli baju lebaran tiap tahun.
Gue adalah bocah manja yang selalu ingin dapat hadiah ulang tahun, atau minimal bisa tiup lilin bareng keluarga. Kalau nggak dikasih, respon gue akan sama pula, nangis dan mogok ngomong sama emak bapak.
Gue juga seorang siswi SD yang super rasis. Main sama orang-orang berduit, highclass, padahal asli, gue gak punya apa-apa. Gue hanya berteman dengan orang-orang yang lebih cantik, padahal nyatanya semua orang cantik tergantung dari sisi mana kita melihat dia.
Gue anti banget pakai sendal jepit, anti banget dengan sendal murahan. Padahal gue juga ga mampu beli sendal yang harganya lebih dari sepuluh ribu. Pokoknya untuk sekedar beli bakso atau es krim, gue harus tampil cantik baju mahal anti sendal murahan. Gue juga nggak akan beli jajanan kalau belum mandi. So, kalau gue mau beli siomay, ya, gue mandi dulu. Setelah selesai mandi, abangnya keburu pergi.
Banyak kayaknya, sampe-sampe gue lupa hal konyol apalagi yang pernah gue lakukan.
Nah, zaman SMP, gue makin menjadi-jadi. Mungkin ini disebabkan oleh semakin bertambahnya umur gue, semakin bertambah pula kebodohan gue, bertambah pula soknya gue.
Gue menghabiskan uang untuk traktir temen-temen dihari ulang tahun, bisa dibilang gue nyesel banget, duit yang gue hambur-hamburkan itu mungkin bisa dipakai untuk biaya hidup selama sebulan bahkan lebih.
Gue juga 3x ganti handphone dalam waktu satu tahun, setahun kemudian gue ganti lagi, ya, berarti 4x kali ganti handphone.
Gue selalu pergi ke mall atau nonton bioskop bareng temen-temen, beli barang yang nggak gue butuhkan, sampah. Buang-buang duit, selalu kurang dengan uang jajan. Pakai sepatu harga selangit, karna ngikut-ngikut temen, gaya-gayaan, sok kaya banget. Tiap hari balik sore, main dirumah temen, bilangnya kerja kelompok, padahal curhat tentang cowok.
Kalau gue inget masa-masa itu, rasanya pengen marah sama diri sendiri, bodoh banget gitu, nggak ada rasa syukurnya.
Setahun kemudian, gue kelas delapan, pikiran gue mulai terbuka, gue mulai berpikir kritis. Gue mulai jaga jarak dengan mereka yang gaya hidupnya tinggi, padahal pakai duit emak bapak.
Gue mulai berpikir, kenapa gue selalu minta ini-itu? Kenapa gue nggak bisa menabung agar mendapatkan apa yang gue mau? Kenapa gue selalu hidup boros dan beli sampah padahal gue nggak butuh?
Akhirnya gue berubah, mungkin sedikit parah, hidup hemat gue ini lebih terkesan seakan-akan gue orang yang pelit. Gue jarang jajan di kantin, gue bawa air mineral dari rumah, pokoknya duit gue sehari harus awet kecuali bayar ongkos. Gue rela gak makan asal gue bisa beli barang yang kali ini gue butuhkan.
Lalu, gue dengan sahabat gue, Ressa, hidup hemat bareng-bareng. Bawa bekel, beli cimol harganya 2.000 satu bungkus, saking hematnya, patungan 500 perak perorang, terus ngajak dua temen lagi biar bisa jadi 2.000, setelah itu, cimolnya dibagi 4, biar adil. Emang beda tipis hemat sama pelit.
Ressa juga orang yang terlibat dalam perubahan gue, dia selalu bisa untuk tidak tergiur beli sampah, kalau dia nggak beli, gue juga. Kalau dia beli, gue pikir-pikir lagi butuh atau mau.
Kebiasaan pelit gue mulai berkembang ditahun terakhir masa SMP, kebiasaan hemat gue nggak bisa dilepas, gue masih jarang jajan di Kantin, gue mulai tangguh dengan rasa lapar, gue bener-bener makan di rumah.
Gue nggak pernah nonton bioskop lagi, terakhir film yang ditonton itu Ada Cinta di Sekolah, sama Dear Nathan, itu udah lama banget.
Semuanya berubah.
Sampai akhirnya, jadilah gue.
Gue yang lebih suka pakai sendal jepit, gue yang selalu cari baju murah kalau bisa gratis, gue yang mulai bodo amat dengan penampilan, gue yang anti buang-buang duit, gue yang selalu berharap ada orang yang kasih gue barang-barang apapun itu dan berapapun itu harganya. Gue mulai nggak butuh baju lebaran. Gue yang nggak mau beli tas baru kecuali gratis, gue yang males ganti sepatu kecuali jebol.
Dan,
Gue yang masih pelit.
Sampe-sampe gue rela beli air mineral yang harganya 2.000 walaupun jaraknya lebih jauh dibandingkan air mineral yang harganya 3.000 yang jaraknya lebih deket. Tuh kan, pelit banget.
Semakin gue dewasa, semakin gue mengerti bahwa uang itu bukan sesuatu yang didapati dengan mudah. Gue mulai paham apa arti kerja keras. Gue nggak pernah menyesal atas apa yang pernah gue lakukan di masa lalu sekalipun itu bodoh, karna, itu yang menjadikan gue bisa bersyukur dengan semuanya.
Karna, manusia itu berproses :)
Bubay!
Comments
Post a Comment